Selasa, 03 Februari 2009






Baru saja dua pesawat tempur Israel membombardir kawasan perbatasan Rafah, Gaza. Imad Abdullah, seorang warga Mesir yang hanya berjarak 400-an meter dari perbatasan Gaza, membisiki saya. “Lihatlah, kami hanya kecipratan suara bising bom, yang sesekali mungkin saja akan menerjang polisi dan warga Mesir. Sementara saudara-saudara kami di Gaza, mendapatkan semuanya.” Imad menunjuk ratusan truk besar pengangkut bantuan dari berbagai negara yang mengantre di perbatasan Rafah, menunggu giliran masuk Gaza. “Semua mata dunia mengarah ke Gaza, sedangkan kami tidak mendapat apa-apa,” kata Imad lagi. Dari atap gedung sekolah di perbatasan Mesir saya memang bisa menyaksikan, kondisi bangunan-bangunan di Rafah, Gaza, jauh lebih mentereng ketimbang di Rafah, Mesir. “Mungkin wilayahmu harus dibombardir dulu,” candaan saya tak membuat Imad tertawa.

Lebih sepekan kemudian, saya dan kameramen Yon Helfi mendapat ijin masuk Gaza. Di kota Rafah, kami diajak keliling seorang polisi intel Hamas untuk menyaksikan kehancuran dampak pemboman. Seluruh bangunan milik pemerintahan Hamas luluh lantak, juga beberapa masjid, termasuk masjid terbesar di Rafah, Al-Abror. Banyak juga rumah warga yang dituding Israel memiliki terowongan rahasia, rata tanah. Namun sepanjang perjalanan dari Rafah ke Gaza City yang berjarak sekitar 30 kilometer, berkali-kali saya dan Yon gantian bertanya, “Mana bekas perangnya?” Warga beraktivitas seperti biasa, tak ada kepedihan, seperti tak pernah ada agresi yang merenggut lebih 1.300 nyawa. (more…)











Tiga hari pasca agresi, pusat kota Rafah, Jalur Gaza kembali menggeliat. Suguhan kare ayam dan daging sapi di sebuah rumah makan membuat perut saya tak lagi “berontak”. Tidak seperti aroma umumnya bumbu masak di Timur Tengah yang “menyengat”, racikan bumbu kare Rafah klop banget dengan selera lidah saya yang sangat Sunda. Jam makan siang, meja-meja dipenuhi warga Rafah. Alamak, mereka juga dengan lahap menyesap soft drink Amerika, Coca-cola dan Pepsi! Benak saya langsung melayang ke aksi-aksi sweeping rumah makan waralaba Amerika oleh sejumlah demonstran di Tanah Air kala berdemo menentang agresi Israel. Kemarin, seorang pendakwah muda di Mesir juga dengan menggebu-gebu meyakinkan saya yang menyeruput Pepsi di siang bolong, bahwa Pepsi adalah akronim dari pay every penny to save Israel.

Jika sang pendakwah ini benar, maka sesungguhnya warga Rafah di depan saya tanpa sadar tengah bunuh diri, karena dari setiap kaleng Pepsi yang ia tenggak, ia ikut membiayai pembuatan bom Israel yang mungkin saja suatu saat akan menghajar rumahnya. “Kif dza hasol (kok, bisa-bisanya begini)?” Abu Hamzah, warga Rafah yang menemani makan, tersipu mendengar pertanyaan saya. “Tak ada yang salah dengan minuman itu. Yang keliru adalah kebijakan pemerintah Amerika,” jawaban Abu Hamzah membuat saya tertawa. “Saya akan sampaikan jawaban Anda pada para demonstran di Indonesia yang men-sweeping rumah makan Amerika.” Abu Hamzah manggut-manggut dengan mimik serius dan jempol tangan kanan teracung t

Tidak ada komentar:

Posting Komentar